LURAH DAN CAMAT TAPOS DIPERIKSA KEJAKSAAN
DEPOK.
Terkait pemekaran kecamatan di Kota Depok dari 6 kecamatan menjadi 11 kecamatan dibutuhkan sarana sarana dan prasarana untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah Kota Depok mempersiapkan pembangunan kantor kecamatan pemekaran antara lain kecamatan Tapos, Cilodong, Cipayung, Cinere, dan Bojongsari. Demikian Dikatakan Yohannes Bunga Koordinator LSM Komunitas Pemantau Peradilan Kota Depok.
Guna pembangunan kantor tersebur Pemerintah Kota Depok mempersiapkan anggaran sekitar Rp 8 miliar untuk rencana tiga kantor kecamatan, dan harus membebaskan lahan peruntukan kantor2 kecamatan tersebut di atas minimal dibutuhkan 3.000 M2 untuk satu perkantoran, rupanya hal ini dipergunakan menjadi kesempatan emas bagi pejabat terkait untuk mencari keuntungan pribadi.
Akibat keserakahan para pejabat tersebut mereka lupa bahwa mereka itu adalah pelayan masyarakat yang harus mengabdi untuk kepentingan umum yang mengakibatkan para pejabat tersebut berurusan dengan pihak berwajib Kejaksaan Negeri Depok. Demikian dikatakan Yohannes Bunga Koodinator LSM Komunitas Pemantau Peradilan Kota Depok.
Para Pejabat yang diperiksa kejaksaan tersebut antara lain : empat orang Lurah dan tiga Camat. Empat Lurah dan tiga camat antara lain; lurah Tapos, camat Tapos, camat cilodong, lurah cipayung jaya, serta camat cipayung, Demikian diungkapkan sumber di Kejaksaan Negeri Depok, dan pemeriksaan terssebut harga tanah diduga di mark up sampai dengan 3 kali lipat dari harga NJOP tanah, lagipula lokasinya tidak layak dijadikan kantor kecamatan.
Seperti tanah yang berada di kecamatan Tapos untuk rencana kantor kecamatan Tapos harga NJOP hanya Rp 200 ribu/m2, akan tetapi biaya pembebasan yang dikeluarkan Pemerintah Kota Depok dalam hal ini Dinas Tata Ruang dan Pemukiman sebesar Rp 850 ribu/m2 dengan luas lahan sekitar 3225 m2 total harga Rp 2.741.250.000,- terdiri dari satu sertufikat kepada seorang perantara.
Hasil investigasi LSM Komunitas Pemantau Peradilan Kota Depok di lapangan ternyata harga tanah yang dibayarkan kepada pemilik tanah hanya Rp 450 m2 kalau dikalikan dengan luas tanah yang dibutuhkan menjadi Rp 1,29 miliar, dan diduga terjadi mark up sebesar Rp.1.451.250.000,- juga struktur tanahnya tidak layak untuk pembangunan perkantoran.
Kasus ini tercium oleh pihak Kejaksaan Negeri Depok, oleh karena itu pihak2 terkait diperiksa pihak Kejaksaan seperti lurah Tapos dan camat Tapos dan penerima uang selaku pemilik tanah.
Sementara menurut sumber bahwa kepemilikan tanah tersebut berupa sertifikat hak guna bangunan (HGB), yang menjadi pertanyaan lagi terjadi keanehan bagaimana sertifikat HGB dapat diberikan untuk lahan kosong milik perorangan yang seharusnya diberikan kepada pengembang.
Menurut sumber bahwa Pemerintah Kota Depok masih mempunyai lahan fasos fasum dikelurahan tersebut dari pengembang PT. Karaba seluas 12.000 m2 dari 20.000 m2, karena sudah dipergunakan 8000 m2 untuk pembangunan Rumah Pemotongan Hewan (RPH).
Sebenarnya Pemerintah Kota Depok tidak perlu membebaskan lahan untuk perkantoran kecamatan karena masih mempunyai sisa lahan fasos fasum dan di mana sekarang sisa fasos fasum yang 12.000 m2 tersebut, tentu hal ini perlu dilakukan pengusutan secara mandalam oleh pihak Kejaksaan.
Pembebasan tanah untuk lahan kantor kecamatan yang lain juga bermasalah, dan sedang dalam penyelidikan pihak Kejaksaan Negeri Depok.
Masyarakat Depok sangat mengharapkan pihak aparat penegak hukum dapat melakukan pemberantasan korupsi di Kota Depok, akan tetapi bila melihat selama ini pihak Kejaksaan enggan memeriksa aparat Pemerintah Kota Depok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar