Senin, 06 Juni 2011

DUGAAN KONG KALIKONG DI LPSE


PERILAKU TINDAK KORUPSI MASIH TIDAK BERUBAH

DEPOK.



Kini tahun 2001 proses lelang pengadaan barang dan jasa di Indonesia beralih dari sistem konvensional ke sistem IT (Informasi Teknologi) lebih dikenal melalui Layanan Penggunaan Sistem Elektronik (LPSE) atau Electronic Government Procurement. 

Ada pun tujuannya LPSE untuk mengurangi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, sekaligus menghemat keuangan negara hingga triliunan rupiah agar kondisi penggunaan keuangan negara dan daerah menjadi lebih baik dan bersih dari berbagai kecurangan.

Program sistem LPSE adalah awalnya program dari Amerika Serikat namanya Millenium Challenge Corporation Threshold Program For Indonesia Control Of Coruption Project (MCC-ICCP) yang didapat dari Badan Pembangunan Internasional Pemerintah AS (USAID) yang dibiayai dari grant/hibah, dan disetujui 35 juta Dollar AS, tapi hanya 5 juta Dollar AS yang digunakan untuk mewujudkan sistem LPSE di Pusat dan di lima Daerah Provinsi sebagai percontohan.

Diketahui server yang digunakan LPSE di lima provinsi untuk mengakomodasi penyimpanan data berkapasitas Memory hanya 4 GB, Hardisk 300 GB, dan Processor 2 Cor. Kendala yang dialami selama proses lelang berlangsung pada saat meng up load data mengalami Low Entry, bila tidak berhasil, tentu saja hal ini telah merugikan pihak peserta lelang.

Sebagai contoh di Pemkot Depok di Dinas Pekerjaan Umum baru hanya bisa menyediakan akses meng up load melalui satelit, bukan tidak sedikit mengalami kegagalan meng up load. Oleh karena bukan menggunakan jaringan Fiber Optic kecepatan tinggi. 


Namun yang menjadi pertanyaan peserta lelang apakah hanya Server LPSE yang digunakan pemerintah daerah saja yang nge Link ke LKPP dan Bappenas. Bukankah data yang di up load peserta lelang yang ada di server LPSE hanya berupa kelengkapan dokumen perusahaan peserta lelang.

Sementara bagaimana kalau pihak panitia melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga mereka bekerja dengan menggunakan lap top sendiri, itu pun karena diketahui setelah pihak panitia mengambil/tranfer data kelengkapan dokumen perusahaan peserta lelang dari server penyimpanan data LPSE (hard drive disk space) dengan menggunakan USB.


Lantas bagaimana tentang pengawasan lap top yang digunakan pihak panitia di saat melakukan evaluasi harga, administrasi dan teknis secara mendetail. Siapa yang bisa mengawasi hasil evaluasi pihak panitia. Apakah lap top tersebut juga nge link ke LKPP dan Babpenas.


Tapi kalau nge link nya hanya sampai di server, tidak sampai ke lap top, bagaimana kita bisa mempercayai hasil pengumuman banyak yang tunggal, tanpa cadangan calon pemenang 2 dan 3.

Setelah dilakukan proses hasil evaluasi panitia, kemudian muncul menjadi tiga kategori perusahaan yang memiliki dokumen lengkap dan harga terendah. 


Sementara diketahui di Pemkot Depok dari hasil evaluasi panitia lelang ada peserta lelang. Setelah perusahaannya dilakukan klarifikasi atau sebelum  diumumkan, memiliki satu perusahaan yang sama, dari hasil evaluasi panitia perusahaan yang satu itu berada pada posisi peringkat nomor satu calon pemenang dengan penawaran harga terendah dan lengkap.


Sesungguhnya diketahui perusahaan tersebut memiliki SKT (Sertifikat Keahlihan Kerja) yang berbeda kemudian tim personilnya pun berbeda, singkat kata peserta lelang tersebut memenuhi persyaratan untuk menang sebanyak enam paket. 


Namun kita ketahui aturan Perpres N0 54 Tahun 2010 terkait soal kemampuan perusahaan yang berskala kecil hanya diperbolehkan paling sedikit mendapatkan lima paket. 


Sebelum hasilnya diumumkan, ada dugaan dari hasil kompromi antara pihak panitia dengan peserta lelang tersebut, kemudian pihak panitia menyuruh pemilik perusahaan tersebut untuk memilih paket yang mana harus dimenangkan panitia.


Diperoleh informasi peserta lelang tersebut dikasih hanya tiga paket saja sebagai pemenang, dengan catatan patut diduga dia harus membuat surat keterangan mengundurkan diri kepada pihak panitia alasan tidak mampu untuk mengerjakan. 


Akhirnya dua paket yang seharusnya diperolehnya menang dan untuk dikerjakan sendiri, tapi yang terjadi perusahaan tersebut tetap sebagai pemenang, namun diduga yang mengerjakan proyek tersebut dari hasil kesepakatan bersama rela diberikan kepada urutan nomor dua setelah urutan nomor satu adanya indikasi melakukan kong kalikong dengan urutan nomor dua hal ini diketahui pihak panitia.


Kemudian diumumkan. Nah, yang menjadi pertanyaan lagi, modus permainan seperti itu siapa yang bisa mengawasi sampai kesitu. Apakah hasil evaluasi yang dikerjakan di lap top panitia tersebut juga dapat dimonitoring, apa mungkin lap top panitia nge link ke LKPP...???








Tidak ada komentar: